Kamis, 21 Juni 2012

Hubungan Interpersonal - Pengantar Psikologi Sosial


HUBUNGAN INTERPERSONAL

A.                Hubungan Interpersonal
Menurut Pearson (1983) manusia adalah makhluk sosial, artinya sebagai makhluk sosial, kita tidak dapat menjalin hubungan sendiri, kita selalu menjalin hubungan dengan orang lain, mencoba untuk mengenali dan memahami kebutuhan satu sama lain, membentuk interaksi serta berusaha mempertahankan interaksi tersebut. Kita melakukan hubungan interpersonal ketika mencoba untuk berinteraksi dengan orang lain. Hubungan interpersonal adalah hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Ketika akan menjalin hubungan interpersonal, akan terdapat suatu proses dan biasanya dimulai dengan interpersonal attraction.
                                                                               
B.                 Interpersonal Attraction
Baron dan Byrne (2006) menjelaskan bahwa interpersonal attraction adalah penilaian seorang terhadap sikap orang lain. Di mana penilaian ini dapat diekspresikan melalui sesuatu dimensi, dari strong liking sampai dengan strong dislike. Jadi, ketika kita berkenalan dengan orang lain, kita sebenarnya melakukan penilaian terhadap orang tersebut. Apakah orang tersebut cukup sesuai untuk menjadi teman kita atau orang tersebut ternyata kurang sesuai, sehingga kita lebih memilih untuk tidak melakukan interaksi sama sekali. Ingatlah bahwa konteks penilaian ini adalah dalam melakukan hubungan interpersonal.
a.              Faktor Internal (Baron dan Byrne, 2008)
Faktor internal adalah faktor dalam diri kita meliputi dua hal, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi (need for affiliation) dan pengaruh perasaan. Interaksi antara satu orang dengan orang yang lain bisa terjadi di mana saja, misalnya di rumah, sekolah, kantor pos, kantin, dan lain- lain. Namun, kebutuhan untuk saling berinteraksi dengan orang-orang disekitar kita berbeda-beda satu sama lain.
Ø  Kebutuhan untuk berinteraksi (need for affiliation)
Kita cenderung ingin berinteraksi dengan orang lain, namun dilain waktu, terkadang kita juga tidak ingin berinteraksi atau ingin sendirian. Menurut McClelland, kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan di mana seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama keluarga atau teman, menunjukkan perilaku saling bekerja sama, saling mendukung, dan konformitas. Seseorang yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi, berusaha mencapai kepuasan terhadap kebutuhan ini agar disukai, diterima oleh orang lain, serta mereka cenderung untuk memilih bekerja bersama orang yang mementingkan keharmonisan dan kekompakan kelompok.
Ø  Pengaruh perasaan
Penelitian dari Byrne, dkk (1975) dari Fraley dan Aron (dalam Baron, Byrne, 2006) menunjukkan bahwa dalam berbagai situasi sosial, humor digunakan secara umum untuk mencairkan suasana dan memfasilitasi interaksi pertemanan. Humor yang menghasilkan tawa dapat membuat kita lebih mudah berinteraksi, sekalipun dengan orang yang belum dikenal. Apakah anda ingat kalimat ‘tertawa itu sehat’? makna dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa dengan tertawa, perasaan kita akan senang, sehingga kita lebih dapat berpikir lebih sehat dan berperilaku lebih baik. Jadi, kita akan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain pada saat kondisi perasaan kita sedang senang di bandingkan jika kondisi perasaan kita sedang negative. Hal ini terjadi, pada saat senang, kita lebih terbuka untuk melakukan komunikasi.

b.             Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi dimulainya suatu hubungan interpersonal adalah kedekatan (proximity) dan daya tarik fisik.
Baron dan Byrne (2008) menjelaskan bahwa kedekatan secara fisik antara orang yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama seperti di kantor dan di kelas, menunjukkan bahwa semakin dekat jarak geografis diantara mereka semakin besar kemungkinan kedua orang tersebut untuk sering bertemu. Selanjutnya pertemuan tersebut akan menghasilkan penilaian positif satu sama lain, sehingga timbul ketertarikan di antara mereka. Hal ini disebut juga dengan more exposure effect, penelitian ini pertama kali dilakukan oleh Zajonc tahun1968. Kita cenderung menyukai orang yang wajahnya biasa kita kenali dibandingkan dengan orang yang wajahnya tidak kita kenal (Miller and Perlman, 2009).
Ø  Daya tarik fisik
Sebuah penelitian mengenai daya tarik fisik menunjukkan bahwa sebagian besar orang percaya bahwa laki-laki dan perempuan yang menarik menampilkan ketenangan, mudah bergaul, mandiri, dominan, gembira, seksi, mudah beradaptasi, sukses, lebih maskulin (laki-laki) dan lebih feminism (perempuan) daripada orang yang tidak menarik (Dion and Dion, 1991;Hatfield dan Sprecher, 1986a dalam Baron byrne, 2008). Jadi, kita cenderung untuk memilih berinteraksi dengan orang yang menarik dibandingkan orang yang kurang menarik, karena orang yang menarik memiliki karakteristik lebih positif.

c.              Faktor Interaksi
Pada faktor interaksi terdapat dua hal, yaitu sebagai berikut.
Ø  Persamaan-perbedaan
Miller and Perlman (2009) mengemukakan bahwa sangat menyenangkan ketika kita menemukan orang yang mirip dengan kita dan saling berbagi asal usul, mina, dan pengalaman yang sama. Semakin banyak persamaan, semakin mereka saling menyukai. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang memiliki kepribadian yang hamper sama akan memiliki pernikahan yang lebih bahagia daripada pasangn suami istri yang memiliki kepribadian berbeda (Gaunt, 2006). Ternyata, perbedaan juga lebih menyenangkan daripada persamaan. Jones menjelaskan bahwa kita merasa senang saat menemukan terdapat hal yang mirip dengan orang yang kita sukai tetapi ternyata lebih menyenangkan saat kita mengetahui bahwa pandangannya berbeda dengan yang kita miliki (Jones dalam Pines, 1999).

Ø  Reciprocal liking
Faktor lain yang juga mempengaruhi ketertarikan kita kepada orang lain adalah bagaimana orang tersebut menyukai kita. Secara umum, kita menyukai orang yang juga menyukai kita dan tidak menyukai orang yang juga tidak menyukai kita. Dengan kata lain, kita memberikan kembali (reciprocate) perasaan yang diberikan orang lain kepada kita (Dwyer, 2000). Ia juga menambahkan, pada dasarnya, ketika kita disukai orang lain, hal tersebut dapat meningkatkan self esteem (harga diri), membuat kita merasa bernilai, dan akhirnya mendapatkan positive reinforcement.


C.                Cinta
Arti kata cinta berubah sesuai dengan siapa atau apakah yang dicintai. Kita berbicara tentang mencintai orang tua kita, negara, pizza, film, atau teman dekat kita. Tetapi cinta romantis, yakni cinta antara dua orang berlawanan jenis kelaminnya (secara konvensional). Jenis cinta semacam inilah yang kita terlibat di dalamnya atau tidak terlibat di dalamnya. Dalam budaya kita dalam beberapa hal ada yang dinilai sama tingginya dengan cinta romantis. Lagu yang popular diantara kita bertemakan cinta. Diantara berbagai penerbitan majalah kita yang paling laku adalah ‘komik cinta’ dan majalah screen romance yang meliputi kisah cinta para bintang televise dan bintang film kita. Bahan pokok industri penerbitan buku adalah buku bersampul tipis dengan latar belakang “percintaan” yang umumnya menceritakan cerita kisah wanita muda cantik dengan pria tampan dan misterius yang secara tidak diduga berada dalam istana yang terus menerus terkena angin. Demikian juga, layar film kita selalu menceritakan kisah-kisah abadi cinta. Bagaimanapun sinisnya mungkin saat kita melihat, kenyataan sebagian besar orang dalam masyarakat kita masih sangat serius menyenangi cerita cinta yang romantis, masih menghargainya tinggi-tinggi, dan merasa tertipu jika mereka tidak mengalaminya.
Kasus tersebut tidak selalu demikian. Kenyataannya, dalam sebagian besar masyarakat pada abad yang lalu, cinta yang romantis dianggap di antara bentuk hiburan yang menyenangkan di luar pernikahan (terutama untuk kalangan atas) dan gangguan psikologis yang berbahaya. Orang dalam kalangan tersebut senang nendengarkan sandiwara dan cerita cinta, tetepi pada kenyataan hidup mereka memilih pasangan pernikahan yang tidak berdasarkan cinta. Kesamaan tersebut terdapat pada masyarakat non industry saat ini. Pasangan pernikahan dipilih berdasarkan kepentingan ekonomi mereka, kemampuan untuk melahirkan anak-anak, dan derajat social bagi keluarga mereka. Cinta merupakan nilai sampingan.
Dengan kata lain, obsesi masyarakat kita terhadap cinta romantis berdasarkan tinjauan sejarah merupakan perkecualian agaknya bukan merupakan peraturan. Kenyataan ini memunculkan beberapa pertanyaan menarik tentang cinta.
Sampai waktu belakangan ini ahli psikologi hanya memiliki minat kecil terhadap masalah cinta. Apabila mereka berpikir tentang cinta, mereka hanya puas dengan menggolongkan cinta sebagai bentuk kesukaan yang mendalan. Namun, selama dua decade terakhir, sejumlah peneliti telah berani meneliti masalah itu, dengan mencoba mendefinisikan cinta, mempelajari sebab-sebab dan bahkan mengukurnya.
Zick Rubin (1973), yang telah banyak sekali meneliti masalah ini dengan baik, memulai penelitiannya dengan membuat daftar pernyataan tantang cinta, yang diambil dari literatur dan sumber lain. Kemudian dia meminta beberapa mahasiswa terlibat dalam hubungan cinta untuk menunjukkan pernyataan mana dalam daftarnya yang dapat memaparkan perasaan mereka terhadap apa yang mereka cintai, dan mana yang lebih dapat diterapkan terhadap orang yang hanya sekedar mereka sukai. Berdasarkan penelitian ini, Rubin menyimpulkan bahwa cinta berbeda dangan kesukaan dan mempunyai tiga (3) komponen yaitu kasih sayang, pengasuhan, dan keakraban.
Kasih sayang merupakan kebutuhan ingin bersama orang lain, untuk mengadakan kontak fisik dan untuk memilikinya, (Hazan dan Shaver, 1987). Inilah gairah cinta, yang irang Yunani kuno menyebutkan sebagai ‘eros’. Bila kasih sayang melibatkan keinginan untuk dipenuhi oleh orang lain yang mengasihi, melibatkan keinginan untuk member. Ini adalah harapan untuk member, untuk memuaskan orang lain. Erich fromm dalam bukunya “the art of loving” (1956) menyebutnya “perhatian aktif terhadap kehidupan dan pertumbuhan sesuatu yang kita cintai”. Menurut bangsa Yunani kuno bentuk cinta seperti itu adalah ‘agape’. ‘eros’ dan ‘agape’ dapat dianggap sebagai unsur yang berlawanan atau bertentangan dalam cinta tetapi Rubin menyatakan bahwa keduanya saling melengkapi dan menunjukkan hubungan timbal balik dalam cinta.
Keakraban menurut Rubin merupakan ikatan khusus antara dua orang dan sangat jelas nampak dalam saling pengertian yang tak terucapkan dari kedua orang tersebut. Keakraban merupakan hal yang eksklusif, yang melibatkan komunikasi yang hanya dimengerti oleh dua orang yang saling mencintai. Rubin juga berpendapat bahwa kesukaan merupakan sesuau yang paling kurang berhubungan dengan rasa cinta, karena kita sering mulai dengan menyenangi seseorang, yang kemudian kita cintai. Tetapi tiga komponen dari cinta (gairah yang mendalam, harapan untuk member, ikatan yang eksklusif) tidak ada. Sikap yang paling menentukan ketika kita menyukai seseorang adalah penilaian positif, rasa menghormati dan rasa kepercayaan, dan rasa kesamaan.
Dua peneliti lain yang membedakan antara mencintai dan menyukai adalah Ellen Berscheid dan Elaine Walster (1978). Dalam pandangan mereka, persahabatan tidak mempunyai elemen khayalan yang biasanya ada dalam cinta. Juga melibatkan sedikit emosi yang bertentangan, termasuk benci, yang sering terlihat menyertai nafsu cinta (Lord Byron menyebut cinta sebagai ‘semacam ikatan permusuhan yang sangat penting untuk memelihara dunia tetap berkembang’). Persahabatan juga sering mantap daripada cinta yang penuh nafsu, yang hamper selalu menghilang dengan adanya peredaran waktu.
Apakah yang terjadi jika cinta yang penuh nafsu menjadi padam? Apabila hubungan berlanjut, nafsu mungkin digantikan oleh semacam cinta yang berbeda. ‘cinta yang bersahabat’. Emosi ini tidak memenuhi pasang surut nafsu cinta yang menakutkan. Tetapi, emosi ini berupa rasa sayang yang tetap dan menyenangkan terhadap seseorang yang hidupnya sangat dekat dengan kita dan telah berbagi pengalaman dalam waktu yang cukup lama (Walster dan Walster, 1978). Cinta yang bersahabat mungkin merupakan dasar bagi perkawinan yang paling bahagia. 

D.                Mengapa Orang Jatuh Cinta?
Menurut Elaine Walster (1971), ia menganggap bahwa factor yang paling rumit adalah kebangunan secara fisik dan label cinta itu sendiri. Pandangan Walster tentang bagaimana cinta itu tumbuh berdasarkan teori emosi yang dikemukakan oleh Stanly Schacter (1964). Dia mengatakan emosi mempunyai dua tahap. Pertama, kita mengalami kebangunan secara fisik. Hal ini dapat terjadi lebih kurang secara spontan, atau dapat dirangsang oleh obat-obatan atau kejutan listrik. Kedua, kita member label perasaan yang diakibatkannya menurut situasi kita. Secara fisik, kita mungkin merasa berdebar setelah melihat film horror atau dikritik habis-habisan di depan umum. Pada kasus pertama kita menyabut perasaan takut, sedangkan yang kedua sebagai malu. Berikut merupakan beberapa petunjuk  agar kita berhasil menyesuaikan cinta :
a.         Iklan memberikan masukan gambaran cinta yang romantic. Cobalah bersikap ragu-ragu. Perempuan yang anda pilih, ketika anda bertemu dengannya mungkin tampak tidak seperti perempuan dalam iklan jins.
b.         Penelitian memperlihatkan bahwa irang yang mempercayai cinta dan ingin mencintai, paling mungkin mempunyai pengalaman yang kita namakan cinta. Jadi, bila anda mengalami putus cinta dan ingin jatuh cinta kembali, kesempatan akan tetap terbuka. Jangan putus asa.
c.         Ingatlah bahwa cinta melewati beberapa tahap, yaitu cinta penuh gairah berubah menjadi cinta bersahabat. Jangan mengharapkan tahap cinta yang hangat berlangsung selamanya. Apabila itu terjadi, anda tidak akan pernah menyelesaikan semua pekerjaan.


E.                 Hal Jiwa
Jiwa adalah sesuatu yang abstrak. Jadi yang kita lihat di sini adalah hanya pernyataan-pernyataan yang tampak dalam hubungannya dengan tubuh, atau gejala-gejala jiwa yang tampak sebagai gerak-gerik. Karena sifatnya yang abstrak, maka apakah sesungguhnya jiwa itu belum ada orang dapat membataskannya dengan tepat.
Metode-metode dalam  jiwa adalah sebagai berikut.
1.      Metode intropeksi adalah metode pemeriksaan yang dilaksanakan dengan jalan meminta dengan orang percobaan (op) melahirkan segala peristiwa-peristiwa kejiwaannya setelah ia selesai mengalami sesuatu.
2.      Metode intropeksi eksperimental adalah metode intropeksi yang digunakan dengan mengadakan eksperimen-eksperimen (percobaan secara sengaja dan dalam suasana yang dibuat). Penyusun metode ini adalah seorang murid Wilhelm Wundt yang bernama Oswald Kulpe, yang mendirikan mazab Wurzburg di Jerman.


DAFTAR PUSTAKA
Sujanto, Agus.1991. Psikologi Umum. Jakarta : Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar kalian demi kemajuan Blog ini...
:)